30 Agustus 2009

Menafsir Untuk Rakyat

istiklah 'hemeneutika' ini didasarkan pada spekulasi historis tentang tokoh dalam mitologi yunani bernama Hermes. Ia konon seorang dewa, atau mungkin seorang nabi. Apa pun, yang jelas ia bertugas menyampaikan pesan Tuhan yang berbahasa ''langit'' kepada manusia yang tentu saja berbahasa ''langit'' dan ''bumi''. Sebab penduduk bumi, sebagai penerima, tentu saja asing terhadap pesan Tuhan dalam bahasa ''langit''.

Konon pula di zaman Hermes dikenal seorang perompak yang aneh. Ia suka menyalib korbanya sebelum kemudian dibunuh dengan sadis. Korban diterlentangkan diatas pohon kayu yang dibentuk segi empat. Jika kebetulan korban orang yang korbanya terlalu tinggi, maka kaki atau tanganya dipotong, agar sesuai dengan 'ukuran papan. Sebaliknya, jika korban terlalu pendek, maka, maka tubuhnya ''dipanjangkan'' secara paksa dengan cara mengikat kaki atau tangannya, lalu menariknya kuat-kuat dan menambatnya di beberapa atau seluruh sudut papan

Natur aneh sang rampok ini oleh para ahli hermeneutika dijadikan analogi untuk menggambarkan bahwa ideologi seseorang bisa mempengaruhi kecerendungan dalam menginterprestasikan teks. Bahwa seseorang (penafsir)bisa menambah, atau sebaliknya, memangkas maksa sejati (objektif) dari suatu teks sesuai dengan kepentingannya, sehingga kemudian melahirkan interprestasi yang bisa. Jika sang penafsir punya kepentingan politis (karena ia seorang penguasa), lahirlah ''tafsir mazhab penguasa'', begitu seterusnya. Pendek kata, dalam kerja interprestasi, subjektifitas sangat menentukan. Tidak adanya interprestasi objektif, karena setiap mereproduksi makna sesuai dengan kepentingan (ideologi) yang bercokol di kepalanya

Menurut Nasr Hamid, cendekiawan Mesir, ideologi seharusnya dikesampingkan dalam kerja interprestasi. Andaipun tidak bisa, minimal sang penafsir menyadari keberadaanya, sehingga ia bisa meminimalisir pengaruhnya. Sebab, jika pengaruhnya terlalu besar, ideologi tanpa disadari berpotensi menyetir sang penafsir untuk ''memperkosa'' teks keluar dari konteks dan maksud sejati yang hendak dicapai oleh teks. Sebaliknya, sang tercapai malah kepentingan sang penafsir sendiri

Menurut filsut Jerman Habermas, bertenggernya kepentingan dalam pengetahuan adalah sesuatu yang tak bisa dihindari. Konon, kata Habermas, ''penekanan atas kepentingan adalah kepentingan itu sendiri.'' yang harus dipersoalkan adalah ke mana kepentingan itu berpihak. Tidak ada yang salah dengan kepentingan, selama itu dalam kerengka emansipasi, bukan sebaliknya : mendukung status quo. Dalam bahasa yamg lebih operasional, kepentingan itu adalah untuk membela kelompok yang terpinggirkan, terzalimi, tertindas, di dalam suatu stuktur.

Bagaimana masing-masing kubu menangpkap makna atau kebenaran dalam polemik seputar UU ketenagakerjaan, kepornoan, hukuman mati, dan semacamnya hari-hari terakhir ini, diakui atau tidak pasti ''ditunggangi'' oleh kepentingan (ideologi) tertentu, entah itu bersifat politik, ekonomi, budaya, sosial,agama atau lainya.

Pertanyaan kita dalam kontek ini mungkin ada dua saja. Pertama, sejauh mana masing-masing kubu bisa meminimalisir ideologi (kepentingan) dalam menentukan makna terdalam dalam isu-isu tersebut? Yang membahayakan, setiap kubu tidak menyadari faktor ideologi ini, sehingga alih-alih meminimalisir, mereka malah sepenuhnya dikendalikan. Walhasil, pemaknaan atau pemahaman yang dihasilkan menjadi sangat bisa kepentingan (ideologi). Ironisnya, mereka mengatakan bahwa pendapatnyalah yang paling benar, argumennyalah yang paling kuat. Yang lain lemah. Yang lain salah. Yang lain sesat.

Kedua, dalam konteks demokrasi, hal yang paling normatif adalah melindungi dan memenuhi kepentingan rakyat. Berkaitan dengan isu UU ketanakerjaan, kepornoan, hukuman mati, tentu kepentingan rakyat yang dimaksud adalah menyangkut rasa moral dan rasa keadilan. Maka, andaipun ada ''kepentingan'' yang bercokol di balik polemik isu-isu tersebut, bagaimanapun harus dimuarakan pada cita menjujung rasa moral dan rasa keadilan publik. Jangan sampai wibawa pemerintah selaku pengemban keadulatan, serta rasa moral dan rasa keadilan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan, ditumbalkan, digadaikan, hanya demi mdmenuhi kepentingan segelintir orang atau kelompok. Wallahu a'lam

0 komentar: